LANGIT kelabu pada tahun 1998 menjadi saksi bisu runtuhnya tatanan ekonomi Indonesia. Di tengah hiruk pikuk krisis dan pecah, seorang Faisal Basri muncul sebagai sosok yang berani dan jernih dalam menjelaskan apa yang terjadi. Dengan suara seraknya yang khas, Faisal selalu berhasil membuat yang sulit menjadi lebih mudah dipahami oleh khalayak luas. Ia merupakan antitesis dari birokrat konvensional, baik dalam cara berpikir maupun dalam cara berpenampilan.
Singkatnya, Faisal Basri menjadi idola baru generasi muda, ideolog sekaligus pemantik aktivisme di kalangan anak muda. Secara subliminal, Faisal Basri adalah tokoh yang membawa alam bawah sadar saya untuk mendaftar ke Fakultas Ekonomi UI jurusan studi pembangunan.
Faisal Basri merupakan tokoh yang merdeka. Bukan hanya merdeka pikir, bebas dari intervensi, cara berpakaiannya pun bebas intervensi. Selalu mengenakan sandal gunung dan membawa tas ransel menjadi padanan yang tak kenal tempat. Apalagi ada satu kolega yang pernah melihat sandal jebol miliknya di sebuah hotel bintang lima. Solusinya pun praktis, dihubungkan dengan lem Korea.
Baca juga : Ekonom Faisal Basri Tutup Usia
Namun, sandal jebol itu bukan sekadar anekdot gaya hidup. Ia merupakan simbol perjuangan yang lebih besar, sebuah pengingat bahwa Faisal Basri bukanlah sosok yang rumit. Ia selalu menemukan solusi yang sederhana dan aplikatif. Ekonomi Indonesia yang jebol pun, menurutnya, selalu ada penjelasan dan jalan keluarnya. “Ekonomi kita jebol karena fondasi industrinya keropos,” ujar Faisal suatu ketika menjelaskan situasi deindustrialisasi prematur yang kerap menghantui kinerja ekonomi jangka panjang Indonesia.
Kita melompat dari masyarakat agrikultur ke masyarakat jasa, padahal penopangnya rapuh. Itulah yang ia sebut sebagai 'the missing middle'–hilangnya fondasi industri yang kuat, yang justru diperlukan untuk menopang perekonomian yang berkelanjutan.
Indonesia, menurutnya, sudah terlalu lama terjebak dalam lingkaran krisis struktural yang bersumber dari lemahnya industrialisasi. Pertumbuhan ekonomi yang selama ini hanya didorong oleh konsumsi domestik dan ekspor komoditas mentah telah menciptakan perekonomian yang rapuh, mudah goyah oleh ekonomi global.
Baca juga : Begini Kenangan Chatib Basri dan Sri Mulyani Tentang Faisal Basri
Faisal Basri kerap menegaskan, “Kita melompat dari pertanian ke jasa tanpa menyiapkan pilar industrinya.” Negara-negara seperti Vietnam dan Filipina, yang lebih konsisten dalam membangun sektor industri, kini melampaui Indonesia dalam hal rantai partisipasi nilai global.
Kondisi itu diperburuk oleh ICOR (Incremental Capital Output Ratio) Indonesia yang terus meningkat, menunjukkan betapa tidak efisiennya perekonomian kita. Dengan ICOR di atas 7, jauh lebih buruk daripada periode prakrisis 1998 yang hanya 3,8, Indonesia menghadapi tantangan besar untuk bersaing di kancah internasional. Itu merupakan bukti bahwa investasi yang ditanam tidak menghasilkan pertumbuhan yang optimal. Hal itu bukan sekadar masalah reformasi teknis, melainkan terkait dengan kegagalan institusi yang lebih mendalam.
Bagi Faisal, industrialisasi tidak akan berjalan baik tanpa adanya reformasi institusi yang serius. Kelembagaan di sini bukan hanya soal peraturan utama yang tertulis, melainkan juga budaya politik dan tata kelola pemerintahan yang mampu mendorong perubahan struktural.
Baca juga : JK kenang Faisal Basri: Ekonom yang Sangat Jarang Ditemui
Acemoglu dan Robinson dalam Why Nations Fail dengan jelas mengungkapkan bahwa keberhasilan atau kegagalan suatu negara sangat bergantung pada institusinya. Institusi yang inklusif–yang memberikan akses yang setara kepada semua elemen masyarakat untuk berpartisipasi dalam ekonomi–ialah kunci utama keberhasilan sebuah negara.
Indonesia, dalam pandangan Faisal, masih berada dalam kondisi yang terperangkap oleh institusi yang ekstraktif. Korupsi, politik uang, dan nepotisme telah mempengaruhi negara ini dalam lingkaran setan ketertinggalan. Reformasi yang mengukur setengah hati hanya memperparah keadaan. Faisal sering kali mengingatkan bahwa tidaj Indonesia hanya memerlukan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga transformasi institusional yang mendasar. Tanpa reformasi institusi yang nyata–dari peraturan tenaga kerja yang kaku hingga tata kelola yang korup–Indonesia akan terus terjebak dalam status quo, menjadi negara yang tua sebelum kaya.
Ide-ide Faisal Basri selalu segar meskipun juga sering bernada provokatif. Suatu ketika, setelah lulus dari FEUI pada tahun 2005, menyandang status sebagai lulusan baru FEUI sekaligus asisten dosen, saya menulis di sebuah media nasional, mengkritik kebijakan ekonomi saat itu yang juga diartikan secara semantik memperingatkan Menteri Keuangan saat itu, Sri Mulyani. Namun, ternyata senior FEUI saat itu tampak gerah, membuat saya sadar bahwa saya bukan seorang Faisal Basri. Duh, Bang Faisal, tulisan mu terlalu menginspirasi sampai sang junior pun jebol nadi takutnya untuk mengkritik senior.
Baca juga : Luhut Pandjaitan: Faisal Basri Bantu Rumuskan PPKM saat Pandemi Covid-19
Seperti sandalnya yang kadang sudah jebol, tapi tetap ia pakai, Faisal Basri merupakan simbol perlawanan terhadap keterjebakan status quo. Ia adalah cerminan kebebasan intelektual–bebas dari dogma, bebas dari pengaruh kelompok kepentingan, dan bebas dari tirani kebijakan. Sandal jebol Faisal Basri bukan sekadar simbol kebebasan individu, melainkan juga metafora bagi kondisi bangsa ini.
Sebuah negara yang harus terus maju meski dengan sumber daya yang terbatas, sebuah bangsa yang harus tetap bertahan meski terkadang harus menghadapi kekurangan, dan yang paling penting, sebuah bangsa yang membutuhkan 'lem korea' dalam bentuk reformasi struktural dan industrialisasi untuk benar-benar memperbaiki fondasinya . Faisal Basri, dengan segala kelemahan dan keberaniannya, selalu mengingatkan bahwa selalu ada jalan untuk maju, hanya saja apakah kita punya keberanian untuk itu?
Selamat jalan, Bang Faisal. Jasamu takkan lekang pada waktu, suara serakmu akan selalu terdengar di antara diskusi-diskusi kami, dan pemikiranmu akan terus menginspirasi setiap generasi yang datang setelahmu. Seperti sandal jebol yang tetap dipakai karena fungsinya tak pernah hilang, ide-ide dan semangatmu akan terus kami kenakan dalam perjuangan panjang ini.
Di tengah gemuruh zaman yang berubah, Anda tetap menjadi penuntun dalam setiap langkah kami. Engkau telah pergi, tetapi perjuanganmu baru saja dimulai–dalam diri kami.