GEMPA menyebabkan robekan pada bidang sesar sehingga terjadi penjalaran gelombang seismik. Menurut Burgmann dalam jurnal Earth and Planetary Science Letters pada tahun 2018 menyebutkan, bahwa kecepatan robekan pada gempa umumnya di sekitar 1 m/s.
Dalam beberapa kasus, terjadi juga robekan senyap yang disebut juga Slow Slip Events (SSE), yaitu pergerakan lambat pada bidang sesar yang tanpa disertai gempa. Jika terjadi robekan senyap, maka berpotensi memicu gempa dengan kekuatan yang jauh lebih besar.
Hal ini dibuktikan, dengan hasil penelitian Radiguet yang merupakan peneliti Universitas Grenoble Aples di Prancis, dalam jurnal Nature Geoscience pada tahun 2016. Ia menyatakan, bahwa telah terjadi robekan senyap yang kemudian memicu gempa Papanoa, Meksiko, pada tanggal 18 April 2014 dengan kekuatan Mw 7.6 .
Untuk wilayah Indonesia, telah ditemukan bukti keberadaan robekan senyap di Sumatera melalui rekaman terumbu karang yang signifikan di daerah tersebut. Mallick dan tim peneliti dari Earth Observatory of Singapore pada publikasi di jurnal Nature Geoscience pada tahun 2021 menyatakan, bahwa robekan senyap telah terjadi antara tahun 1829 hingga 1861, dan diduga memicu gempa berkekuatan Mw 8,5 di Nias.
Selain itu, penelitian yang sama menyatakan bahwa robekan senyap yang berlangsung dari tahun 2001 hingga 2004 di Andaman berputar pada gempa Mw 9.2 pada tahun 2004. Hasil penelitian yang lain oleh Tsang, dalam jurnal Geophysical Research Letters pada tahun 2015 menunjukkan juga adanya robekan senyap pada tahun 1966 hingga tahun 1981 megathrust Sumatera.
Oleh karena itu, robekan senyap berbahaya karena dapat meningkatkan tekanan pada bagian sesar yang mempercepat fase pelepasan energi, sehingga memicu terjadinya gempa dan tsunami. Namun, robekan senyap sering kali sulit dideteksi di sekitar zona tektonik aktif tersebut oleh peneliti, sehingga meningkatkan risiko bagi masyarakat yang tinggal di sekitar zona tersebut. Dalam hal ini, pemahaman yang lebih mendalam tentang robekan senyap dan dampaknya sangat penting, untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan mitigasi risiko bencana di wilayah rawan gempa.
Robekan senyap
Robekan senyap adalah fenomena yang terjadi pada zona subduksi, di mana pergeseran lempeng tektonik berlangsung dengan kecepatan sangat lambat, biasanya dalam jarak milimeter per tahun. Weng dalam jurnal Nature Communications pada tahun 2022 mencatat, bahwa kecepatan robekan senyap ini berkisar antara 10^(-6) mm/s hingga 10 mm/s. Berbeda dengan gempa yang terjadi secara tiba-tiba dan menghasilkan gelombang seismik yang kuat, robekan senyap tidak menghasilkan gelombang seismik yang signifikan.
Robekan senyap terjadi akibat akumulasi stres di sepanjang permukaan gesek antara dua lempeng, yang kemudian dibiarkan secara perlahan. Sebagai analogi, terdapat dua blok kayu yang saling menempel, lalu satu blok ditarik secara perlahan, sehingga terjadi pergeseran tanpa suara atau getaran yang signifikan. Namun, jika tekanan terus meningkat, akhirnya salah satu blok akan bergerak dengan cepat, menghasilkan suara keras dan getaran yang identik dengan fenomena gempa.
Untuk mendeteksi keberadaan robekan senyap, salah satu metode yang dapat digunakan adalah pengukuran geodetik, seperti Global Positioning System (GPS). Metode ini memungkinkan perubahan posisi permukaan bumi dengan akurasi tinggi. Dengan menganalisis data tersebut, robekan senyap dapat terdeteksi melalui pergeseran yang terjadi dalam jangka waktu tertentu, yang mungkin tidak terdeteksi oleh seismometer. Melalui pendekatan ini, peneliti dapat mengidentifikasi pola yang menunjukkan adanya robekan senyap, dan mampu meramalkan potensi dampaknya terhadap aktivitas seismik di masa depan.
Hasil investigasi robekan senyap di Sumatra
Kondisi tektonik Sumatera yang kompleks, dengan pertemuan antara Lempeng India/Australia dan Lempeng Eurasia, menyebabkan aktivitas seismik yang tinggi. Proses subduksi, di mana menujam Lempeng India/Australia ke bawah Lempeng Eurasia, menciptakan zona seismogenik yang aktif. Dalam konteks ini, robekan senyap dapat terjadi di bagian megathrust yang lebih halus, di mana kondisi tekanan dan suhu memungkinkan terjadinya pergeseran yang lambat. Robekan senyap di Sumatra berkaitan dengan akumulasi stres di sepanjang megathrust, yang dapat memicu gempa besar.
Investigasi yang dilakukan oleh Mallick tersebut di atas, menunjukkan adanya perubahan signifikan dalam laju pertumbuhan karang yang dikaitkan dengan robekan senyap di Sumatra selama 32 tahun. Data ini diperoleh dari tiga lokasi karang di sekitar Pulau Simeulue, dengan analisis laju pertumbuhan karang dari tahun 1738 hingga 1861.
Laju pertumbuhan karang dapat menjadi indikator untuk mendeteksi robekan senyap, karena karang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan fisik yang disebabkan oleh pergerakan di bawah permukaan bumi. Saat terjadi robekan senyap, pergeseran lambat di bawah permukaan dapat mempengaruhi akses karang terhadap cahaya dan kondisi udara, yang berkontribusi pada laju pertumbuhannya.
Karang juga memiliki kemampuan untuk mencatat perubahan dalam laju pertumbuhannya dari waktu ke waktu. Sehingga, analisis lapisan pertumbuhan karang dapat mengungkap periode di mana terjadi peningkatan atau penurunan laju pertumbuhan yang mungkin terkait dengan aktivitas tektonik. Selain itu, perubahan tekanan pori selama robekan senyap dapat mempengaruhi stabilitas dan pertumbuhan karang, sehingga menciptakan pola pertumbuhan yang tidak biasa.
Penelitian lainnya oleh Feng dari Earth Observatory of Singapore, pada tahun 2015 telah melakukan investigasi untuk mendeteksi robekan senyap menggunakan data SuGAr (Sumatran GPS Array) dari tahun 2002 hingga 2014 dengan 39 stasiun pengukuran. Hasil penelitiannya yang dipublikasikan di Journal of Geophysical Research : Solid Earth tersebut menunjukkan tidak adanya indikasi robekan senyap di Sumatera, yang ditunjukkan melalui analisis data GPS yang cenderung linier pada durasi waktu tersebut. Seharusnya, jika terdapat robekan senyap, akan terlihat anomali berupa perubahan posisi stasiun yang signifikan.
Namun, hasil ini tidak sepenuhnya menutup kemungkinan adanya robekan senyap setelah tahun 2014. Hal ini, disebabkan penelitian sebelumnya pada terumbu karang menunjukkan adanya indikasi robekan senyap di Sumatra. Oleh karena itu, diperlukan penyelidikan lebih lanjut mengenai pendeteksian robekan senyap di Sumatera dengan menggunakan data geodetik yang lebih mendalam.
Deteksi robekan senyap
Zona megathrust Indonesia berada di barat Sumatera, selatan Jawa, utara Sulawesi dan utara Papua. Hal tersebut dapat menjadi ancaman bagi Indonesia, karena jika terjadi robekan senyap di megathrust maka dapat memicu gempa dan tsunami yang lebih besar.
Berdasarkan akibat yang mampu ditimbulkan oleh robekan senyap, maka diperlukan solusi yang lebih komprehensif, sehingga mampu mengidentifikasi daerah-daerah yang rentan sebagai langkah mitigasi bencana gempa dan tsunami. Salah satu pembaharuan metode untuk mendeteksi robekan senyap, adalah dengan menganalisis data geodetik terbaru seperti dengan GPS.
Data tersebut sangat penting, karena memberikan informasi real-time tentang pergerakan tanah yang lebih sensitif dan akurat dibandingkan dengan data pertumbuhan karang saja. Sementara pertumbuhan karang dapat mencatat perubahan dalam laju pertumbuhannya, data GPS memungkinkan peneliti untuk memadukan pergerakan horizontal dan vertikal secara langsung. Oleh karena itu, penggunaan data GPS dapat mengidentifikasi pola pergerakan yang mungkin tidak terlihat dalam analisis laju pertumbuhan karang tersebut.
Selain itu, dapat juga dilakukan kombinasi berbagai alat pemantauan untuk membuktikan keberadaan atau ketidakberadaan robekan senyap di sepanjang zona megathrust, seperti penguatan dan peningkatan jaringan GPS yang ada, pemasangan jaringan seismik berkualitas tinggi, serta pengembangan alat pemberian dasar laut untuk memperluas cakupan pemantauan.
Setelah daerah yang mengalami robekan senyap terdeteksi, langkah mitigasi yang efektif perlu diimplementasikan untuk mengurangi risiko bencana. Pertama, penting untuk melakukan pemetaan risiko yang komprehensif, yang mencakup identifikasi area yang paling rentan terhadap dampak buruknya.
Selanjutnya, pengembangan rencana darurat dan sistem peringatan dini harus dilakukan untuk memastikan bahwa masyarakat yang berada di dekat zona berisiko dapat segera diingatkan dan dievakuasi jika terjadi pergerakan tanah yang signifikan. Selain itu, edukasi masyarakat mengenai potensi bahaya robekan senyap, dan langkah-langkah yang harus diambil dalam situasi darurat sangat penting untuk meningkatkan kesadaran dan kesiapansiagaan.
Terakhir, kolaborasi antara pemerintah, peneliti, dan masyarakat lokal dalam penelitian dan pemantauan berkelanjutan, akan memperkuat upaya mitigasi, memastikan bahwa strategi yang diterapkan selalu berbasis pada data terbaru, dan pemahaman yang mendalam tentang dinamika geologi di Indonesia. Dengan pendekatan yang terintegrasi ini, risiko yang ditimbulkan oleh robekan senyap dapat diminimalkan, sehingga melindungi kehidupan dan harta benda masyarakat di wilayah tersebut.
Secara keseluruhan, pemahaman tentang robekan senyap dan interaksinya dengan kondisi tektonik di Indonesia sangat penting untuk meningkatkan kesiapan terhadap bencana. Penelitian yang telah dibahas sebelumnya, memperkuat pernyataan bahwa robekan senyap mampu memicu gempa megathrust yang lebih besar di masa depan.
Dengan menggunakan teknologi modern dan metode analisis yang tepat, diharapkan dapat lebih baik dalam mendeteksi dan memahami fenomena ini, yang pada akhirnya dapat membantu dalam mitigasi risiko dan perlindungan masyarakat yang tinggal di daerah rawan gempa.
Namun, saat ini belum ada penelitian tentang deteksi robekan senyap megathrust di Sumatera Barat, Jawa Selatan, Sulawesi Utara, dan Papua Utara. Oleh karena itu, hal ini menjadi tantangan bagi peneliti geosains Indonesia. Jika bukan kita, siapa lagi.