SIANG itu, Rusmiati, warga Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, di lereng Gunung Semeru, sedang bersantai bersama keluarga di dalam rumah, sambil melihat padi yang dikeringkan di samping rumah.
Wati dan Andri, anak Rusmiati terlihat sedang bermain utama di teras rumah. Sementara itu, suami Rusmiati, Thamrin, yang berprofesi penambang pasir, sejak pagi sudah meninggalkan rumah bergabung dengan penambang pasir lainnya.
Situasi seketika berubah ketika jelang sore muncul teriakan dari tetangga. “Meletu, meletus, meletus!” Itulah yang didengar Rusmiati. Namun, Rusmiati masih belum beranjak dari tempat duduk, karena mengira yang terjadi hanyalah letusan biasa. Gunung Semeru kerap memunculkan awan panas setiap hari.
Baca juga : Presiden Joko Widodo Akan Meninjau Dampak Erupsi Semeru Secara Langsung
Namun, teriakannya semakin menggema dan seluruh warga berlarian. Rusmiati pun panik setelah melihat langit tiba-tiba menjadi gelap gulata dalam waktu singkat. Rusmiati menarik masuk rumah sambil mencari kedua anaknya.
Dua anaknya diraih dan digendong, namun saat keluar rumah sudah gelap gulata. Jarak pandang hanya tiga meter. Rusmiati langsung berlari mengikuti warga lainnya ke balai desa yang dianggap lebih aman.
Di tengah ketakutan itu, Rusmiati memikirkan nasib suami yang berada di aliran sungai yang berpotensi menjadi tempat aliran lahar dingin mengalir. “Suami saya dimana? Suami saya dimana?,” teriak Rusmiati di antara ratusan warga Desa Sumberwuluh yang berkumpul di balai desa untuk mencari perlindungan.
Baca juga : 15 Warga Meninggal Dunia dan 27 Orang Hilang Akibat Erupsi Semeru
Suara tangisan para ibu, para lansia, dan anak-anak menggema di balai desa. Kondisi desa yang gelap tanpa ada penerangan karena tertutupnya kabut dari Letusan Gunung Semeru menjadi titik kekhawatiran warga.
Kesedihan terlihat dari wajah Rusmiati. Ia terus-menerus memikirkan keadaan suami yang masih penuh tanda tanya.
“Sare itu yang penting bagaimana saya menyelamatkan anak-anak saya. Baru agak lega setelah mendengar bahwa suami menyelamatkan diri ke desa lainnya,” kata Rismiati.
Baca juga : Kemenhub Pastikan Bandara Juanda dan Abdulrachman Saleh Tak Terganggu Erupsi Semeru
Cerita singkat Rusmiati sebagian kecil cerita sedih akibat letusan Gunung Semeru yang terjadi pada awal tahun 2022 silam. Letusan dahsyat yang membawa material vulkanik itu meluluhlantakkan 1.027 rumah warga Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro.
Tak hanya Sumberwuluh, Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, juga ikut terdampak. Sedikitnya ada 437 rumah rusak dan 85 rusak berat. Tak kalah tragisnya, bencana letusan ini menewaskan 51 orang.
Guguran awan panas dari Gunung Semeru juga merusak 20 hektare sawah di Desa Supiturang, Kabupaten Lumajang. Total ada 20 hektare areal persawahan yang terdampak dari total lahan persawahan seluas 57 hektare.
Baca juga : Kabar Duka, Adik Gubernur Sumut Edy Rahmayadi Meninggal Dunia
Perum Perhutani Wilayah Kawasan Hutan sekitar Gunung Semeru KPH Probolinggo, Jawa Timur, juga mengalami kerugian. Lahan seluas 5.354,80 hektare terdampak parah dan sedang. Lahan yang rusak parah mencapai 1.999,80 hektar dengan jenis tanaman adalah kopi, rimba, campur, serta pinus.
Kondisi ini diperparah dengan kondisi warga yang harus mengungsi. Tercatat 9.417 jiwa harus mengungsi di 402 titik pengungsian.
Tiga kecamatan menjadi fokus penampungan pengungsi yakni, di Pasirian sebanyak 15 titik dengan jumlah pengungsi 1.657 jiwa. Lalu di Candipuro terdapat 22 titik dengan 3.897 jiwa mengungsi dan di Pronojiwo tujuh titik dengan 1.136 jiwa mengungsi.
Pengungsian di luar Kabupaten Lumajang berada di Kabupaten Malang sebanyak sembilan titik dan 341 jiwa mengungsi. Di Probolinggo ada 11 jiwa mengungsi di satu titik. Di Blitar ada tiga jiwa yang menungsi di satu titik. dan di Jember ada 13 jiwa mengungsi di satu titik.
Bersatu Tanggulangi Bencana
Di tengah situasi itu, Pemerintah Provinsi Jatim langsung hadir. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jatim, Pemkab Lumajang, Pemkab Malang, Pemkab Probolinggo, TNI, Polri, dan relawan melakukan koordinasi intensif.
Instansi terkait dalam waktu singkat melakukan rapat intensif. Sudah ada tupoksi yang jelas bagi setiap instansi dalam melakukan penanganan.
Keselamatan para warga menjadi prioritas dalam penanganan bencana letusan Gunung Semeru. Oleh karena itu, semuanya pemangku kepentingan dikumpulkan guna melakukan langkah antisipasi penyelamatan korban.
“Saat terjadi (letusan) yang kita pikirkan bagaimana jiwa harus menyelamatkan lebih dulu. Saat itu kita bersatu padu melakukan langsung agar pengungsi segera terselesaikan,” kata Plt Kabid Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Jatim Dadang Iqwandy.
Pemprov Jatim meminta agar dicarikan lokasi yang aman bagi para pengungsi untuk jangka panjang. Terlebih lagi setelah pendataan, beberapa desa tak bisa lagi ditinggali karena telah tertutup oleh tebalnya debu vulkanik maupun guguran lahar panas.
Langkah awal yang dilakukan adalah membangun perumahan sementara atau huntera. Lokasinya yang tergolong aman adalah di Desa Sumber Mujur, Kecamatan Kali Puro, Kabupaten Lumajang.
Ribuan pengungsi yang awalnya hidup di pengungsian akan direlokasi ke hunterara secara bertahap. Pada tahap awal terdapat 2.000 unit hunter yang dibangun.
“Seluruh fasilitas sangat lengkap, mulai dari air hingga listrik. Karena sifatnya sementara dibangun dengan menggunakan kayu lapis biasa, tapi aman untuk ditempati,” kata Dadang.
Selama hampir tiga bulan menempati hunian sementara, pemerintah pusat dan Pemprov Jatim mempertimbangkan memberikan warga korban terdampak letusan Gunung Semeru rumah permanen yakni hunian tetap (huntap).
Kemunculan perburuan tersebut awalnya memicu polemik. Warga khawatir akan kehilangan rumah dan lahan pribadi di desa yang sudah tertutup material vulkanik.
Selain itu, mereka tidak mau menerima opsi berburu karena dianggap terlalu jauh dan khawatir akan kehilangan rumah di desa asal serta kehilangan mata pencaharian.
“Wajar karena bertahun-tahun hidup di desa tersebut, tapi sangat berbahaya jika tetap di sana, makanya kita buat hunter,” ujarnya.
Pemerintah kemudian berjanji kepada warga, meski berada di Huntap, warga tidak akan kehilangan aset tanah dan rumah di desanya. “Sejak itu, mereka langsung bisa menerima keputusan tinggal di Huntap,” katanya.
Contoh Nasional
Program perburuan dan perburuan pascabencana letusan Gunung Semeru pada tahun 2022 silam yang dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera) dan Pemprov Jatim menjadi percontohan nasional. Sebab, Huntap bisa dibangun berdekatan dengan Huntara.
Sebelumnya pada peristiwa bencana lain, Huntap dibangun berjauhan lokasinya dengan Huntara yang dapat menimbulkan potensi ketidaknyamanan pada warga yang terdampak bencana.
Dengan cara ini maka warga bisa mendapatkan dua rumah sekaligus dalam satu lahan. “Ini dijadikan percontohan nasional, sehingga tidak terpisahkan antara huntera dan hunterap,” kata kepala Dinas PU Bina Marga Jatim, Tambeng.
Bukan sekadar bangunan saja, pemerintah juga membangun Huntap dengan fasilitas sangat lengkap mulai dari kamar mandi, listrik, dapur, air bersih, meja kursi, hingga seluruh perlengkapan rumah yang disiapkan oleh pemerintah.
Akses jalan juga diaspal dan terkoneksi dengan rumah satu dan lainnya. Selain itu, agar anak-anak bisa tetap sekolah, juga dibangun sekolah mulai dari PAUD, taman kanak-kanak, SD sampai SMP.
Pemerintah juga membangun fasilitas sosial seperti masjid, balai pertemuan, balai desa, lapangan sepak bola, serta tempat bermain anak-anak. “Hampir semua fasilitas dibangun agar warga nyaman dan aman di hunian tetap tersebut,” kata Tambeng.
Bahkan, hunter dibangun di bawah lereng Gunung Semeru yang dinyatakan aman dari muntahan bahan vulkanik, sehingga saat pagi hari dan udara cerah Gunung Semeru akan terlihat indah jika dilihat dari bilik jendela rumah warga.
Warga merasakan kebahagian menghuni Huntap meski awalnya sempat ragu dan merasakan ketakutan. Namun, 300 tenaga penyulingan yang dikerahkan bisa menjamin mereka untuk tetap tinggal di perburuan.
“Sekarang saya kerasan hidup disini, waktu masuk hanya bawa badan saja semuanya sudah disiapkan, seluruh perlengkapan, mulai kursi, kasur, termasuk pakaian disiapkan. Saya masuk badan saja di rumah ini,” kata Wagiman salah seorang warga.
Wagiman juga tidak diselimuti rasa takut lagi bila ada letusan, setelah hunter dinyatakan daerah paling aman. Dia juga tidak kehilangan usahanya karena masih bisa meneruskan profesinya sebagai penambang pasir.
Ia juga masih diperbolehkan bila sewaktu-waktu kembali ke rumah desa asal. “Seperti surga di bawah lereng Gunung Semeru. Pagi buka jendela bisa melihat Gunung Semeru, apalagi kalau muncul letusan-letusan yang sangat indah,” ungkapnya.
Meskipun merasakan kebahagiaan dan jauh dari ancaman letusan, kewaspadaan warga tetap diperlukan. Menurut data PVMBG, aktivitas Gunung Semeru berada di kawah Jonggring Seloko.
Kawah ini berada di sisi tenggara puncak Mahameru. Sedangkan berdasarkan karakter letusannya, Gunung Semeru bertipe vulkanis dan strombolian yang ditandai terjadinya letusan sebanyak 3-4 kali setiap jam.
Karakter letusan gunung berapi berupa letusan eksplosif yang dapat menghancurkan kubah dan lidah lahar yang telah terbentuk sebelumnya. Sementara itu, letusan karakter strombolian biasanya terjadi pembentukan kawan dan lidah lava baru.
Perguruan Tinggi Peduli Bencana
Kepedulian terhadap warga terdampak letusan Gunung Semeru juga datang dari perguruan tinggi negeri di Jawa Timur. Bahkan, kalangan perguruan tinggi sudah menyiapkan berbagai desain rumah yang dianggap anti bencana.
Seperti yang dilakukan Institut Teknologi 10 November Surabaya (ITS) yang telah menyiapkan rencana penanggulangan bencana seperti dilakukan pemetaan sesuai wilayah dengan potensi bencana alamnya. Mulai dari gempa, tanah longsor, banjir, dan letusan gunung.
“Penanggulangan berbasis desain rumah anti-bencana ini juga sudah menyesuaikan dengan kondisinya, nantinya akan dikaji lebih lanjut oleh para ahli,” kata Rektor ITS Prof Mochamad Ashari.
Program ini sudah pernah dilaporkan kepada presiden. Kepedulian perguruan tinggi merupakan bagian dari kolaborasi dengan pemerintah “Kolaborasi ini juga menyesuaikan ahli bidang terkaitnya, seperti ITS,” katanya.
Kolaborasi lintas sektor inilah yang menjadikan Jawa Timur cukup sigap dalam setiap penanganan bencana, mulai dari gempa bumi, tanah longsor, sampai letusan gunung.
Didukung dengan anggaran yang tidak dibatasi oleh Pemprov Jatim melalui APBD Jatim, setiap bencana mampu ditangani secara cepat dan singkat. (FL/J-3)